Mengapa Kata "Galau" Kini Populer?
Akhir-akhir ini kita disuguhi sebuah kata yang menggelisahkan existensi kita, dan memaksa kita masuk dalam filsafat angop. Galau, kata yang sekarang sering kita temui hampir tiap hari di dunia nyata maupun maya. Situs jejaring (twitter, facebook, dll), bahkan dengan rela nama akun mereka dibubuhi kata Galau (misal, AliSakit GalauBanget). Kata ini mungkin senasib dengan Ayu Ting-ting atau Briptu Norman yang muncul secara tiba-tiba dan populer di kalangan remaja.
Jika diruntut ke belakang, kata ini sudah ada jauh-jauh hari tentunya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia cetakan 2008, (cuma ini yang saya punya), mempunyai pengertian bahwa, galau adalah kacau ; ketidak karuan, gundah. Saya pun mencoba mengartikan dalam google translate, hasilnya lebih mengacu pada confusion. Namun kepopulerannya justru menjadikan pergeseran makna dan paradigma. Seseorang yang sedang ada masalah dengan pasangan, berkata galau. Seseorang yang merindukan sang kekasih juga berkata galau. Bahkan ketika tidak nafsu makan pun berkata galau.
Uniknya, mengapa kata ini secara tiba-tiba menjadi begitu populernya, sampai-sampai acara Televisi ikut mempopulerkannya? Ah, ataukah memang kata ini berawal darinya? atau mungkin dari aktor paparazi? Setelah saya menyelidiki, saya hanya menemukan fakta bahwa kata Galau dipakai oleh Titi DJ sekitar tahun 2006. Lantas saya menjadi ragu akan hasil ini jika melihat rentang waktu. Selain berjarak tahun yang cukup jauh, tentunya perubahan makna ini belum terjawab. Lalu darimana? Sebenarnya kata ini telah populer dikalangan anak gaul remaja jauh sebelum sebuah acara di salah satu stasiun TV melafalkannya.
Apakah kata ini menjadi sebuah syarat untuk bisa disebut “Anak Gaul” masa kini? Lalu saya pun menjadi berfikir, definisi “Anak Gaul” itu sendiri seperti apa? Secara harfiah saya cuma akan katakan bahwa anak gaul adalah anak yang bergaul. Kemudian timbul pertanyaan lagi, bergaul yang bagaimana? Agaknya mencari jawaban seperti ini tak akan ada titik temu. Sebab masing-masing punya definisi sesuai dangkal dan dalamnya pemikiran seseorang.
Terminologinya begini, kalau kamu sering jalan ke mall, nongkong sesama teman, hafal lagu terbaru, ikut fashion mode, kamu akan dibilang gaul oleh mereka yang berperilaku serupa. Begitu juga ketika kamu tahu berita terbaru, paham internet, nyambung jika diajak ngobrol hal apapun, kamu bisa dibilang Gaul oleh kalangan di lingkup itu, tapi belum tentu bagi lainnya. Hal ini hanya sebuah social status yang didapat dari orang-orang yang sangat bergantung pada pandangan orang tersebut. Jadi apakah Gaul itu harus mengidap konsumerisme, narcisme, eksistensialisme, atau bahkan heroisme? Wah, terus terang saya belum mampu untuk begitu. Maka, biarlah saya tidak gaul. Biarlah mereka dengan pandangan Gaul masing-masing.
Ada kemungkinan lain mengapa kata Galau terangkat ke permukaan dunia remaja. Kemungkinan yang cukup besar menurut saya. Perasaan gundah, mudah bingung, dan gampang bosan yang sering menghinggapi jiwa muda masa kini. Marak kita temui orang mudah gelisah dan bosan (Bètè, kalau anak gaul menyebutnya) sampai enggan mengayuh kehidupan. Bukankah ini sebuah hal aneh, orang menjadi mudah bosan di dunia yang serba teknologi ini? Hidup terasa monoton. Dengan adanya kebosanan dan kebimbangan ini maka membentuk lahan yang subur untuk berkembangnya kata Galau tersebut. Entah itu benar maknanya atau tidak yang jelas lebih terlihat keren dan cukup efektif. Barangkali hal kecil semacam ini adalah sebuah contoh ketidakcerdasan kita dalam memahami dan mengintegrasikan ilmu dalam hidup ini. Sebuah ketidakcerdasan yang bisa dimengerti, sebab kita tidak terbiasa dan terbudaya untuk berlogika.
Kegalauan – versi mereka – yang timbul, akibat mudahnya terbawa skeptisme arus kehidupan. Betapa banyak dari kita terlalu mudah mengadopsi hal yang tujuan dan arahnya kita tak paham, demi mengikuti trend. Hal-hal yang bersifat kesenangan terlampau berharga untuk dilewatkan atau tidak dicoba. Lalu ketika dihadapkan pada realitas kehidupan atau kenyataan yang tak sesuai harapan, kita mudah pesimis, dan mudah masuk dalam lingkup keputusasaan. Akibatnya merebaklah kata “Galau” itu. Pesimisme semacam ini amat kontraproduktif bagi kreativitas remaja yang notabene adalah barometer dan ujung tombak kemajuan bangsa. Sympton psikologis yang paling terlihat dari seseorang yang tereduksir galau ini adalah munculnya berbagai gejala psikosis maupun psikosomatis manakala sesuatu sudah tak lagi menjadi sumber bahagianya. Seperti seseorang penyuka warna pink menjadi galau sebab tak mendapatkan barang dengan warna kesukaannya.
Pada hakekatnya, manusia sendiri lah yang mampu menguasai dirinya, menjadi Tuan atas pribadinya. Namun keterlekatan hal ini yang menjadikan sebaliknya. Kegelisahan dan pesimisme akan kehidupan diinvasi oleh hal yang bersifat sepele. Lalu bagaimana mengharap adanya kreativitas yang jujur pada sesuatu yang adanya saja digerakkan oleh hal diluar dirinya?
Banyak yang menyatakan galau dalam segi percintaan. Namun saya ragu jika ada manusia jaman sekarang rela mati demi cinta. Butuh kekuatan yang luar biasa untuk mengalahkan diri sendiri serta kepiawaian mensugesti diri ditengah-tengah kondisi sekarang. Lalu, mengapa harus galau dengan cintamu? Sebab saya tidak yakin ada orang rela mati demi ketidakcerdasan.
Personality dan kepribadian manusia sangat berpengaruh dalam sikap dan aligment-nya terhadap manusia lain dan kehidupan. Manusia yang tidak mampu mengolah harga dirinya bakal punya kecenderungan memaksakan kehendak dalam diri. Barangkali manusia semacam ini perlu menukar ingatannya agar dia lebih tahu guna ilmu dan moral dalam hidup.
Agaknya, dalam pelajaran matematika yang kita terima, hanya melahap mentah-mentah 1+1 adalah 2, tapi tak pernah mau berfikir obyektif dan logis. Jangan-jangan kepribadian kita sudah terjangkit Multiple Personal Disorder yang Epidemic. Mungkinkah semua ini timbul akibat kita terlalu lama di-ninabobo-kan dengan stres akibat multi krisis tiada henti?
Setelah semua berputar dalam lingkup diatas, akan timbul pertanyaan mendasar. Apa sebenarnya tujuan hidup? Terlepas dari konteks keagamaan, kemungkinan akan setuju jika saya menjawab tujuan hidup adalah memberi arti kehidupan. Apa itu arti kehidupan, dan bagaimana memberikan arti hidup itu sendiri? Jawabannya hanya kamu -pribadi sendiri- yang mampu menjawabnya. Sebab setiap manusia tak pernah sama dalam hal kepribadian. Tanyakan pada hati terdalammu, saatnya make a move untuk tujuan hidupmu yang sesungguhnya.
Keep Spirit !
Kudus, 12 januari 2012
Jika diruntut ke belakang, kata ini sudah ada jauh-jauh hari tentunya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia cetakan 2008, (cuma ini yang saya punya), mempunyai pengertian bahwa, galau adalah kacau ; ketidak karuan, gundah. Saya pun mencoba mengartikan dalam google translate, hasilnya lebih mengacu pada confusion. Namun kepopulerannya justru menjadikan pergeseran makna dan paradigma. Seseorang yang sedang ada masalah dengan pasangan, berkata galau. Seseorang yang merindukan sang kekasih juga berkata galau. Bahkan ketika tidak nafsu makan pun berkata galau.
Uniknya, mengapa kata ini secara tiba-tiba menjadi begitu populernya, sampai-sampai acara Televisi ikut mempopulerkannya? Ah, ataukah memang kata ini berawal darinya? atau mungkin dari aktor paparazi? Setelah saya menyelidiki, saya hanya menemukan fakta bahwa kata Galau dipakai oleh Titi DJ sekitar tahun 2006. Lantas saya menjadi ragu akan hasil ini jika melihat rentang waktu. Selain berjarak tahun yang cukup jauh, tentunya perubahan makna ini belum terjawab. Lalu darimana? Sebenarnya kata ini telah populer dikalangan anak gaul remaja jauh sebelum sebuah acara di salah satu stasiun TV melafalkannya.
Apakah kata ini menjadi sebuah syarat untuk bisa disebut “Anak Gaul” masa kini? Lalu saya pun menjadi berfikir, definisi “Anak Gaul” itu sendiri seperti apa? Secara harfiah saya cuma akan katakan bahwa anak gaul adalah anak yang bergaul. Kemudian timbul pertanyaan lagi, bergaul yang bagaimana? Agaknya mencari jawaban seperti ini tak akan ada titik temu. Sebab masing-masing punya definisi sesuai dangkal dan dalamnya pemikiran seseorang.
Terminologinya begini, kalau kamu sering jalan ke mall, nongkong sesama teman, hafal lagu terbaru, ikut fashion mode, kamu akan dibilang gaul oleh mereka yang berperilaku serupa. Begitu juga ketika kamu tahu berita terbaru, paham internet, nyambung jika diajak ngobrol hal apapun, kamu bisa dibilang Gaul oleh kalangan di lingkup itu, tapi belum tentu bagi lainnya. Hal ini hanya sebuah social status yang didapat dari orang-orang yang sangat bergantung pada pandangan orang tersebut. Jadi apakah Gaul itu harus mengidap konsumerisme, narcisme, eksistensialisme, atau bahkan heroisme? Wah, terus terang saya belum mampu untuk begitu. Maka, biarlah saya tidak gaul. Biarlah mereka dengan pandangan Gaul masing-masing.
Ada kemungkinan lain mengapa kata Galau terangkat ke permukaan dunia remaja. Kemungkinan yang cukup besar menurut saya. Perasaan gundah, mudah bingung, dan gampang bosan yang sering menghinggapi jiwa muda masa kini. Marak kita temui orang mudah gelisah dan bosan (Bètè, kalau anak gaul menyebutnya) sampai enggan mengayuh kehidupan. Bukankah ini sebuah hal aneh, orang menjadi mudah bosan di dunia yang serba teknologi ini? Hidup terasa monoton. Dengan adanya kebosanan dan kebimbangan ini maka membentuk lahan yang subur untuk berkembangnya kata Galau tersebut. Entah itu benar maknanya atau tidak yang jelas lebih terlihat keren dan cukup efektif. Barangkali hal kecil semacam ini adalah sebuah contoh ketidakcerdasan kita dalam memahami dan mengintegrasikan ilmu dalam hidup ini. Sebuah ketidakcerdasan yang bisa dimengerti, sebab kita tidak terbiasa dan terbudaya untuk berlogika.
Kegalauan – versi mereka – yang timbul, akibat mudahnya terbawa skeptisme arus kehidupan. Betapa banyak dari kita terlalu mudah mengadopsi hal yang tujuan dan arahnya kita tak paham, demi mengikuti trend. Hal-hal yang bersifat kesenangan terlampau berharga untuk dilewatkan atau tidak dicoba. Lalu ketika dihadapkan pada realitas kehidupan atau kenyataan yang tak sesuai harapan, kita mudah pesimis, dan mudah masuk dalam lingkup keputusasaan. Akibatnya merebaklah kata “Galau” itu. Pesimisme semacam ini amat kontraproduktif bagi kreativitas remaja yang notabene adalah barometer dan ujung tombak kemajuan bangsa. Sympton psikologis yang paling terlihat dari seseorang yang tereduksir galau ini adalah munculnya berbagai gejala psikosis maupun psikosomatis manakala sesuatu sudah tak lagi menjadi sumber bahagianya. Seperti seseorang penyuka warna pink menjadi galau sebab tak mendapatkan barang dengan warna kesukaannya.
Pada hakekatnya, manusia sendiri lah yang mampu menguasai dirinya, menjadi Tuan atas pribadinya. Namun keterlekatan hal ini yang menjadikan sebaliknya. Kegelisahan dan pesimisme akan kehidupan diinvasi oleh hal yang bersifat sepele. Lalu bagaimana mengharap adanya kreativitas yang jujur pada sesuatu yang adanya saja digerakkan oleh hal diluar dirinya?
Banyak yang menyatakan galau dalam segi percintaan. Namun saya ragu jika ada manusia jaman sekarang rela mati demi cinta. Butuh kekuatan yang luar biasa untuk mengalahkan diri sendiri serta kepiawaian mensugesti diri ditengah-tengah kondisi sekarang. Lalu, mengapa harus galau dengan cintamu? Sebab saya tidak yakin ada orang rela mati demi ketidakcerdasan.
Personality dan kepribadian manusia sangat berpengaruh dalam sikap dan aligment-nya terhadap manusia lain dan kehidupan. Manusia yang tidak mampu mengolah harga dirinya bakal punya kecenderungan memaksakan kehendak dalam diri. Barangkali manusia semacam ini perlu menukar ingatannya agar dia lebih tahu guna ilmu dan moral dalam hidup.
Agaknya, dalam pelajaran matematika yang kita terima, hanya melahap mentah-mentah 1+1 adalah 2, tapi tak pernah mau berfikir obyektif dan logis. Jangan-jangan kepribadian kita sudah terjangkit Multiple Personal Disorder yang Epidemic. Mungkinkah semua ini timbul akibat kita terlalu lama di-ninabobo-kan dengan stres akibat multi krisis tiada henti?
Setelah semua berputar dalam lingkup diatas, akan timbul pertanyaan mendasar. Apa sebenarnya tujuan hidup? Terlepas dari konteks keagamaan, kemungkinan akan setuju jika saya menjawab tujuan hidup adalah memberi arti kehidupan. Apa itu arti kehidupan, dan bagaimana memberikan arti hidup itu sendiri? Jawabannya hanya kamu -pribadi sendiri- yang mampu menjawabnya. Sebab setiap manusia tak pernah sama dalam hal kepribadian. Tanyakan pada hati terdalammu, saatnya make a move untuk tujuan hidupmu yang sesungguhnya.
Keep Spirit !
Kudus, 12 januari 2012
Tidak ada komentar: