Hedonisme Terselubung ; Sebuah Fiksimini Tentang Idealisme
Salam sakit dan tetap Sakit. Untuk kali ini saya mencoba memosting karya berupa Fiksimini. Mengapa Fiksimini? karena panjang karyanya lebih sedikit daripada cerpen. Silakan membaca Fiksimini tentang Idealisme ini.
Hujan turun menerpa wajahku, melintasi lekuk asimetris ciptaan Tuhan. Membasahiku dan sekitar. Orang-orang berjalan berlarian menghindari hujan yang sepertinya lebat. Cuma aku yang terpaku di sudut warung menatap keindahan tarian hujan menjejakkan kaki-kakinya di jalan.
Di ujung depan, samar-samar kulihat kamu bergegas mencari tempat berteduh. Segera aku melambai ke arahmu sampai akhirnya kamu mau duduk di sebelahku. Rambutmu tampak basah. Kemeja kekecilan yang kamu kenakan juga tampak lembab. Semoga saja kamu tidak lebih kedinginan dengan skinny jeans-mu yang kuyub bawahnya, sebab aku tak bisa menghangatkanmu.
“Hai, apa kabar?” sapaku memulai pembicaraan.
Kamu tersenyum kecil, “Baik,” jawabmu.
“Masih aktif dalam gerakan bawah tanah?”
“Selamanya. Oh ya, kudengar kamu sekarang jadi penulis?” tanyamu dengan sinis.
“Ya, dan itu mimpiku,” aku tersenyum.
“Apa sih yang sesungguhnya kamu kejar dalam hidup?” masih dengan nada sinis kamu bertanya padaku.
“Maksudmu?”
“Mungkin kini kau bukan lagi pahlawan dalam dongeng-dongeng sebelum tidurku. Bukan lagi angin kebebasan. Kini kau bekerja untuk mereka yang kaubenci dan kautentang di masa lalu. Kini kaulah yang datang menghamba pada mereka, sebab mereka punya kuasa.”
“Aku tidak paham maksudmu,” ucapku mengerutkan dahi.
“Nggak usah pura-pura tolol. Kamu sekarang ikut mayor kan?”
“Memang kenapa? Hei, industri penerbitan tidak seperti industri musik. Ini beda, “ nadaku meninggi.
“Tidak ada bedanya. Mainstream, kapitalis, hedonis, semua halal,” katamu sambil tertawa.
“Sorry, tapi kamu salah paham. Aku masihlah seperti yang dulu. Aku masih terus memperjuangkan sosialis dalam tulisanku,” ucapku membela.
“Sosialisme atau pasar-isme? Pasar yang didominasi kepentingan materi. Aku juga bukan orang bodoh. Waktu aku sempat baca tulisan kamu, apa yang aku dapat? Cuma teks yang menjadikan mesin duit bagi mereka. Mana idealisme kamu dulu? Mana semangat juang yang katamu demi memperbaiki sastra indonesia? idealisme dan semangat juangmu kini bergeser menjadi hubungan mutualisme dan negosiasi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup.”
Aku menunduk, “Kalau ingin laku ya memang begitu,” komentarku.
“Dengan merusak sesuatu demi sesuap nasi? Jika ini pertempuran, kau sudah lama mati di tangan musuh.”
“Aku tidak merusak apapun!” bentakku ke arahmu.
“Jangan pura-pura bodoh kamu. Tidak tahu atau tidak mau tahu? Dengan terbukanya kebebasan mencipta, banjir tulisan-tulisan dalam berbagai media massa, juga yang terbit dalam bentuk buku. Lembaga penerbitan buku juga tumbuh menjamur di mana-mana. Tetapi apakah kesusastraan ikut mengalami kemajuan atau perkembangan yang berarti? Aku malu menjadi bagian dari sastra di masa kini,” katamu lirih.
“Dulu ya seperti itu, masa sekarang ya seperti ini. Tidak ada yang bisa disamakan. Aku hanya berkarya. Karyaku juga telah melalui tangan-tangan editor dan redaktur.”
“Tapi tidak banyak redaktur yang memiliki kapasitas dan cita rasa sastra yang memadai yang punya jiwa luhur berjuang. Karya-karya yang beredar lewat media massa tidak pernah mampu mendongkrak kualitas sastra. Karena apa? koran atau majalah adalah komoditi yang tidak lepas dari spirit industri. Belum lagi perusakan bahasa yang justru malah diagungkan.”
“Hei, this is just for fun. Ini hanya sebuah hiburan.”
“Hiburan katamu? Perusakan kamu sebut hiburan? Mengapa kau jadi sama seperti mereka?”
Hening. Perlahan langit berhenti menumpahkan tangisnya melalui rinai hujan.
“Kamu cuma membawa bendera kebebasan berkarya yang menurunkan kualitas dan selera baca anak negeri. Aku tak tahu lagi. Kurasa waktu telah merampasmu. Merampokmu. Yang tersisa sekarang ini mungkin tak lebih dari ingatan samar-samar dan beberapa baris cerita di catatan kumalmu,” katamu sambil berlalu. Menerjang jalanan yang masih basah dan banyak membentuk kubangan.
Dan kamu memang tak pernah berubah. Selalu mengkultuskan perjuangan. Selalu mengerti hari-hariku, selalu memahami apa yang sedang melandaku. Walau demikian, dulu pernah ada yang begitu memikat dan membuat hatiku patah. Sebab ada satu hal yang tak pernah kamu tahu; bahwa aku mencintaimu diam-diam.
Batang, percakapan sia-sia dalam "Pageblug Njero Lemah"
*) Fiksimini ini pernah menjadi Juara I dalam "Event FF AWARD WR, MEI 2012" yang diadakan oleh WRITING REVOLUTION
Hedonisme Terselubung
Oleh : Wirasatriaji
Hujan turun menerpa wajahku, melintasi lekuk asimetris ciptaan Tuhan. Membasahiku dan sekitar. Orang-orang berjalan berlarian menghindari hujan yang sepertinya lebat. Cuma aku yang terpaku di sudut warung menatap keindahan tarian hujan menjejakkan kaki-kakinya di jalan.
Di ujung depan, samar-samar kulihat kamu bergegas mencari tempat berteduh. Segera aku melambai ke arahmu sampai akhirnya kamu mau duduk di sebelahku. Rambutmu tampak basah. Kemeja kekecilan yang kamu kenakan juga tampak lembab. Semoga saja kamu tidak lebih kedinginan dengan skinny jeans-mu yang kuyub bawahnya, sebab aku tak bisa menghangatkanmu.
“Hai, apa kabar?” sapaku memulai pembicaraan.
Kamu tersenyum kecil, “Baik,” jawabmu.
“Masih aktif dalam gerakan bawah tanah?”
“Selamanya. Oh ya, kudengar kamu sekarang jadi penulis?” tanyamu dengan sinis.
“Ya, dan itu mimpiku,” aku tersenyum.
“Apa sih yang sesungguhnya kamu kejar dalam hidup?” masih dengan nada sinis kamu bertanya padaku.
“Maksudmu?”
“Mungkin kini kau bukan lagi pahlawan dalam dongeng-dongeng sebelum tidurku. Bukan lagi angin kebebasan. Kini kau bekerja untuk mereka yang kaubenci dan kautentang di masa lalu. Kini kaulah yang datang menghamba pada mereka, sebab mereka punya kuasa.”
“Aku tidak paham maksudmu,” ucapku mengerutkan dahi.
“Nggak usah pura-pura tolol. Kamu sekarang ikut mayor kan?”
“Memang kenapa? Hei, industri penerbitan tidak seperti industri musik. Ini beda, “ nadaku meninggi.
“Tidak ada bedanya. Mainstream, kapitalis, hedonis, semua halal,” katamu sambil tertawa.
“Sorry, tapi kamu salah paham. Aku masihlah seperti yang dulu. Aku masih terus memperjuangkan sosialis dalam tulisanku,” ucapku membela.
“Sosialisme atau pasar-isme? Pasar yang didominasi kepentingan materi. Aku juga bukan orang bodoh. Waktu aku sempat baca tulisan kamu, apa yang aku dapat? Cuma teks yang menjadikan mesin duit bagi mereka. Mana idealisme kamu dulu? Mana semangat juang yang katamu demi memperbaiki sastra indonesia? idealisme dan semangat juangmu kini bergeser menjadi hubungan mutualisme dan negosiasi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup.”
Aku menunduk, “Kalau ingin laku ya memang begitu,” komentarku.
“Dengan merusak sesuatu demi sesuap nasi? Jika ini pertempuran, kau sudah lama mati di tangan musuh.”
“Aku tidak merusak apapun!” bentakku ke arahmu.
“Jangan pura-pura bodoh kamu. Tidak tahu atau tidak mau tahu? Dengan terbukanya kebebasan mencipta, banjir tulisan-tulisan dalam berbagai media massa, juga yang terbit dalam bentuk buku. Lembaga penerbitan buku juga tumbuh menjamur di mana-mana. Tetapi apakah kesusastraan ikut mengalami kemajuan atau perkembangan yang berarti? Aku malu menjadi bagian dari sastra di masa kini,” katamu lirih.
“Dulu ya seperti itu, masa sekarang ya seperti ini. Tidak ada yang bisa disamakan. Aku hanya berkarya. Karyaku juga telah melalui tangan-tangan editor dan redaktur.”
“Tapi tidak banyak redaktur yang memiliki kapasitas dan cita rasa sastra yang memadai yang punya jiwa luhur berjuang. Karya-karya yang beredar lewat media massa tidak pernah mampu mendongkrak kualitas sastra. Karena apa? koran atau majalah adalah komoditi yang tidak lepas dari spirit industri. Belum lagi perusakan bahasa yang justru malah diagungkan.”
“Hei, this is just for fun. Ini hanya sebuah hiburan.”
“Hiburan katamu? Perusakan kamu sebut hiburan? Mengapa kau jadi sama seperti mereka?”
Hening. Perlahan langit berhenti menumpahkan tangisnya melalui rinai hujan.
“Kamu cuma membawa bendera kebebasan berkarya yang menurunkan kualitas dan selera baca anak negeri. Aku tak tahu lagi. Kurasa waktu telah merampasmu. Merampokmu. Yang tersisa sekarang ini mungkin tak lebih dari ingatan samar-samar dan beberapa baris cerita di catatan kumalmu,” katamu sambil berlalu. Menerjang jalanan yang masih basah dan banyak membentuk kubangan.
Dan kamu memang tak pernah berubah. Selalu mengkultuskan perjuangan. Selalu mengerti hari-hariku, selalu memahami apa yang sedang melandaku. Walau demikian, dulu pernah ada yang begitu memikat dan membuat hatiku patah. Sebab ada satu hal yang tak pernah kamu tahu; bahwa aku mencintaimu diam-diam.
Batang, percakapan sia-sia dalam "Pageblug Njero Lemah"
*) Fiksimini ini pernah menjadi Juara I dalam "Event FF AWARD WR, MEI 2012" yang diadakan oleh WRITING REVOLUTION
Dialognya menggugah bang, sarat makna dan penuh nilai perjuangan.
BalasHapussalam, "semangat bangsa merdeka...."