Sebuah Renungan ; Apa Arti Sebuah Kesalahan?
Sebuah Renungan ; Apa Arti Sebuah Kesalahan?
Banyak hal ingin kutuliskan, ingin kukatakan. Tetapi hingga detik ini tak semua yang kuingin itu dapat kulakukan. Apa yang akhirnya kutuliskan terkadang bukanlah cermin sepenuhnya dari apa yang terjadi padaku. Hanya beberapa keping ingatan dari retak-retak kenangan yang jatuh di persimpangan. Dan tak mungkin bagiku menuliskan semua yang kurasakan. Aku tak ingin telanjang di hadapan sekian banyak pasang mata.
Memang bagi sebagian orang hal itu menjadi sebuah tontonan yang menyenangkan dan mungkin menggairahkan. Tetapi bagi sebagian yang lain hal itu bisa menjadi sesuatu yang menjijikkan dan atau memalukan. Lalu seperti apa yang akhirnya tertulis, aku berharap itu bukan sesuatu yang menjijikkan walau tidak menutup kemungkinan bahwa apa yang kutuliskan ini --sedikit-- memalukan. Tapi ketika akhirnya aku memutuskan untuk jujur mengatakan sesuatu yang sebenarnya, aku tahu bahwa salah satu konsekuensinya adalah rasa malu. Itu lebih baik dari pada tak punya rasa malu bukan?
Ketika akhirnya aku memilih atau memutuskan sesuatu, tentu saja bukan aku saja yang akhirnya menjadi obyek dari keputusan itu. Sebab aku hidup tidak sendirian. Sesuatu yang terjadi padaku memang effect dari apa yang aku lakukan. Tetapi aku melakukan sesuatu (entah baik entah tidak baik) karena beberapa alasan. Salah satu alasan itu adalah orang lain. Dan ketika sesuatu yang tidak baik kulakukan maka sebagian orang lain kemudian menyalahkanku.
Aku tidak menyalahkan mereka ketika aku disalahkan. Tetapi tentu saja asal hal itu tidak berlebihan. Sebab seorang penjahat pun tetap berhak mendapatkan keadilan atau pembelaan atas kejahatan yang dilakukan. Tentu saja dalam hal ini aku bukan penjahat. Bukan pembelaan diri atau mencari pembenaran akan sesuatu, tetapi seringkali realitas yang ada cenderung menempatkan pesakitan sebagai seorang yang haknya dikaburkan (kalau tidak mau dibilang dihilangkan).
Ketika seseorang sakit hati atas apa yang kulakukan maka sudah hampir pasti bahwa aku disalahkan dalam hal itu. Tetapi seringkali pertanyaan "Mengapa kamu tega melakukan ini padaku?" menjadi pertanyaan egois yang jawaban-jawaban dari pertanyaan itu dicari dalam dirinya sendiri. Atau bisa jadi pertanyaan itu sekedar menjadi pertanyaan yang jawaban-jawabannya tidak dicari dengan cara yang benar kalau tidak mau dibilang tak pernah dicari.
Ada lagi pertanyaan yang seringkali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari,
"Seorang penjahat pun punya hati nurani, apakah kamu tak punya?"
Pertanyaan ini seringkali tak disadari oleh yang bertanya bahwa telah memposisikan seseorang lebih jahat dari penjahat. Siapa yang lebih jahat dari penjahat? Jawabannya tentu bukan mbahnya penjahat atau moyangnya penjahat. Sebab kalau dijawab seperti itu, rentetan berikutnya adalah; yang membuat mbahnya penjahat atau moyangnya penjahat adalah setan dan atau iblis. Rentetan berikutnya; siapa yang membuat setan dan iblis? yang akhirnya menjadi jahat- tentu saja adalah Tuhan Yang Maha Kuasa akan segala sesuatu.
Aku tidak ingin menyalahkan Tuhan. Tentu saja Tuhan tidak salah, Dia Maha Benar. Lepas dari jawaban-jawaban itu, pertanyaan di atas membuat orang yang diberi pertanyaan itu menjadi tersakiti. Meski mungkin itu pantas diterima karena telah menyakiti. Tetapi tetap saja konteks "memanusiakan manusia" menjadi tidak melalui proses yang baik karena tanpa disadari manusia itu sendiri yang tidak memanusiakan dirinya. Yang membuat orang dalam posisi tertentu, bukan orang lain, tetapi orang itu sendiri. Kapasitas orang yang bersangkutan yang membuatnya dalam posisi tertentu. Dan ketika seseorang yang lain memposisikan orang lain secara berlebihan atau tidak pada posisinya, sudah tentu itu menjadi tidak adil. Ah, siapa saat ini peduli tentang keadilan. Keadilan hanya ada di tangan Tuhan. Klasik.
Apa yang kemudian kualami dalam hidup, kuharapkan menjadi pelajaran yang penting dan dapat dipetik hikmahnya, baik bagiku atau bagi orang lain. Sebab salah satu bentuk kasih sayang Tuhan adalah mengingatkan umat yang Dia sayang dengan cara-Nya. Aku tidak bisa memilih cara yang kuinginkan dalam hal ini. Yang harus dilakukan adalah menerima peringatan itu dan berusaha untuk menjadi lebih baik agar mendapatkan sesuatu yang lebih baik juga tentunya.
Aku yakin Tuhan sayang padaku. Ketika kepahitan hidup menjatuhkanku, kepahitan itu pula yang akhirnya membangunkanku kembali. Dari kedalaman sajadah kulihat banyak orang sepertiku. Begitu banyak, dan aku menjadi berani untuk menyusun kata-kata. membacanya di jendela menghadap rembulan dan bintang-bintang, tanpa ragu dan bimbang. Dan saat fajar menjelang, aku akan tahu mengapa aku hidup kembali.
-Wirasatriaji-
Tidak ada komentar: