Cinta Vs Agama
alisakit.com - Salam Sakit dan Tetap Sakit. Kali ini saya coba bicara mengenai Cinta Beda Agama. Kalau kamu dihadapkan pada dua pilihan ini, mana yang kamu pilih : Cinta atau Agama?
Katakanlah kamu jatuh cinta sama seseorang yang ternyata agamanya beda sama kamu. Kalian pacaran dan tentu saja kepingin nikah, tapi terganjal masalah agama. Katakanlah pacar kamu itu nggak mau pindah agama mengikuti kepercayaan kamu. Apa yang akan kamu korbankan? kamu rela sedia pindah keyakinan demi si Dia?
Kita bisa melihat banyak contoh orang pindah agama karena mau kawin. Supaya lebih gampang, kita lihat saja selebriti kita. Suami Maudy Koesnaedi yang bule kan kristen mau pindah Agama demi menikahi perempuan itu. Nafa Urbach meninggalkan Islam ketika berpacaran dengan cowok ABG blasteran. Katanya sih bukan karena pacar, tapi memang keyakinan.
Tidak ada yang menjadi persoalan, kecuali di mata saya. Layakkah kita mengorbakan keyakinan demi sebuah kata : Cinta? Saya kira faith itu adalah sesuatu yang sangat personal. Lebih abstrak dan lebih sulit mencari alasan yang logis kalau ditanya ‘kenapa memilih suatu agama’ ketimbang ditanya ‘kenapa cinta dia’.
Saya selalu sinis sama orang yang pindah agama karena mau kawin, bukan pindah agama karena ‘kesadaran’ bahwa memang pingin pindah tanpa tendensi apapun. Bahkan saya banyak mengagumi dan lebih suka belajar dari orang-orang yang menemukan sendiri keyakinannya ketimbang dapat dari lahir. Saya lebih suka mendengar cerita spiritual Dewi Hughes daripada mendengar ceramah AA Gym. Bukan masalah saya tidak suka AA Gym, dalam hal ini hanya sebuah perbandingan saja. Kita mendengar AA Gym akan mendapat ilmu agama, syarat rukun ibdah. tetapi jika mendengar cerita-cerita dari orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan berpindah agama karena keinginan dari hati, kita bisa mendapatkan inspirasi sekaligus punya rasa syukur yang sangat besar.
Kalau pindah agama karena tendensi nggak jelas kayak cinta, apa sesungguhnya mereka mau menjalankan apa yang dituntut agama baru-nya? Saya berani bertaruh, mereka yang mengikuti keyakinan pasangannya hanya kamuflase supaya bisa kawin aja, kenyataannya mereka menganggap agama hanya permainan. Saya nggak yakin yang masuk Islam untuk kawin bakal puasa di bulan Ramadhan. Saya banyak melihat contoh. Tentangga saya salah satu contoh. Keturunan Tionghoa yang menikahi pribumi dan masuk Islam seperti yang disyaratkan keluarga si perempuan. Selama menjadi tentangga, saya nggak pernah melihat dia puasa. Saya sering melihat dia makan siang di rumahnya dan istrinya dengan sukarela memasak. Lalu apa itu agama bagi mereka? Legalitas pernikahan?
Kalau ditanya sama saya, jawabannya sudah jelas. Lagipula, kalau saya tahu orang yang saya suka beda agama, saya nggak akan pernah pacaran sama dia. Mencegah lebih baik daripada mengorbankan bukan? Saya nggak akan bahagia kalau ada orang yang terpaksa atas nama cinta mengikuti keyakinan saya. Itu namanya perkosaan terselubung.
Menikah beda agama hanya didasari cinta buta tanpa ada persiapan untuk menerima perbedaan, maka tunggu saja perpecahan. Bibit-bibit chaos dan diskriminatif pasti ada dalam diri seseorang karena ketika seorang individu tumbuh, lingkungannya sangat berpengaruh, untuk mengkatarsis sifat itu tergantung sepanjang hidupnya seberapa jauh seorang individu mengasah bibit itu supaya semakin tipis dan bahkan barangkali hilang? Semua kerusuhan rasial di negeri ini ada karena bibit itu kemudian disemai dengan baik, seperti korek api yang disiram bensin.
Lagipula, bukankah cinta yang sesungguhnya dan yang kekal itu, cinta kepada sang Khalik? Sebab dia mencintai kita tanpa pamrih. Pacar punya pamrih. Nggak ada cinta yang tanpa pamrih, meskipun kata mereka yang sedang dilanda asmara, cinta itu pengorbanan.
Katakanlah kamu jatuh cinta sama seseorang yang ternyata agamanya beda sama kamu. Kalian pacaran dan tentu saja kepingin nikah, tapi terganjal masalah agama. Katakanlah pacar kamu itu nggak mau pindah agama mengikuti kepercayaan kamu. Apa yang akan kamu korbankan? kamu rela sedia pindah keyakinan demi si Dia?
Kita bisa melihat banyak contoh orang pindah agama karena mau kawin. Supaya lebih gampang, kita lihat saja selebriti kita. Suami Maudy Koesnaedi yang bule kan kristen mau pindah Agama demi menikahi perempuan itu. Nafa Urbach meninggalkan Islam ketika berpacaran dengan cowok ABG blasteran. Katanya sih bukan karena pacar, tapi memang keyakinan.
Tidak ada yang menjadi persoalan, kecuali di mata saya. Layakkah kita mengorbakan keyakinan demi sebuah kata : Cinta? Saya kira faith itu adalah sesuatu yang sangat personal. Lebih abstrak dan lebih sulit mencari alasan yang logis kalau ditanya ‘kenapa memilih suatu agama’ ketimbang ditanya ‘kenapa cinta dia’.
Saya selalu sinis sama orang yang pindah agama karena mau kawin, bukan pindah agama karena ‘kesadaran’ bahwa memang pingin pindah tanpa tendensi apapun. Bahkan saya banyak mengagumi dan lebih suka belajar dari orang-orang yang menemukan sendiri keyakinannya ketimbang dapat dari lahir. Saya lebih suka mendengar cerita spiritual Dewi Hughes daripada mendengar ceramah AA Gym. Bukan masalah saya tidak suka AA Gym, dalam hal ini hanya sebuah perbandingan saja. Kita mendengar AA Gym akan mendapat ilmu agama, syarat rukun ibdah. tetapi jika mendengar cerita-cerita dari orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan berpindah agama karena keinginan dari hati, kita bisa mendapatkan inspirasi sekaligus punya rasa syukur yang sangat besar.
Kalau pindah agama karena tendensi nggak jelas kayak cinta, apa sesungguhnya mereka mau menjalankan apa yang dituntut agama baru-nya? Saya berani bertaruh, mereka yang mengikuti keyakinan pasangannya hanya kamuflase supaya bisa kawin aja, kenyataannya mereka menganggap agama hanya permainan. Saya nggak yakin yang masuk Islam untuk kawin bakal puasa di bulan Ramadhan. Saya banyak melihat contoh. Tentangga saya salah satu contoh. Keturunan Tionghoa yang menikahi pribumi dan masuk Islam seperti yang disyaratkan keluarga si perempuan. Selama menjadi tentangga, saya nggak pernah melihat dia puasa. Saya sering melihat dia makan siang di rumahnya dan istrinya dengan sukarela memasak. Lalu apa itu agama bagi mereka? Legalitas pernikahan?
Kalau ditanya sama saya, jawabannya sudah jelas. Lagipula, kalau saya tahu orang yang saya suka beda agama, saya nggak akan pernah pacaran sama dia. Mencegah lebih baik daripada mengorbankan bukan? Saya nggak akan bahagia kalau ada orang yang terpaksa atas nama cinta mengikuti keyakinan saya. Itu namanya perkosaan terselubung.
Menikah beda agama hanya didasari cinta buta tanpa ada persiapan untuk menerima perbedaan, maka tunggu saja perpecahan. Bibit-bibit chaos dan diskriminatif pasti ada dalam diri seseorang karena ketika seorang individu tumbuh, lingkungannya sangat berpengaruh, untuk mengkatarsis sifat itu tergantung sepanjang hidupnya seberapa jauh seorang individu mengasah bibit itu supaya semakin tipis dan bahkan barangkali hilang? Semua kerusuhan rasial di negeri ini ada karena bibit itu kemudian disemai dengan baik, seperti korek api yang disiram bensin.
Lagipula, bukankah cinta yang sesungguhnya dan yang kekal itu, cinta kepada sang Khalik? Sebab dia mencintai kita tanpa pamrih. Pacar punya pamrih. Nggak ada cinta yang tanpa pamrih, meskipun kata mereka yang sedang dilanda asmara, cinta itu pengorbanan.