Kompetisi ; Sebuah Renungan
Mungkin saya akan ragu jika globalisasi menjadi faktor yang
berpengaruh dalam agresi remaja dewasa ini. Tapi kalau globalisasi,
memperbesar gairah manusia untuk kompetisi, saya setuju sekali. Baik
kompetisi dalam pengertian obyektif-profesional maupun kompetisi dalam
arti subyektif dan bersemangat teroris.
Namun kompetisi tetaplah sebuah persaingan kendati terbungkus dalam suatu culture yang sarat dengan nilai-nilai kesopananan. Dan dalam hal ini semangat “homo homini lupus” tetap relevan dan diminati. Karena itu, menarik untuk melihat “psychologigal conditioning” para kompetitor yang mengadopsi budaya X-Factor misalnya. Ketika mendengar pengumuman bahwa mereka tidak termasuk atau setidaknya belum tereliminasi. Saya kira tangisan mereka sukar untuk diartikan maksudnya. Atau sedih karena harus berpisah dengan rekan mereka atau senang karena toh masih selamat dari eliminasi.
Begitulah kompetisi mempemainkan psikologi manusia dan membuat kita menjadi stress serta sedikit schisoprenism. Yang lebih membuat geli kompetisi juga bisa membuat seorang kehilangan akal budi. Lalu mulai percaya pada jampi-jampi seperti orang yang percaya ada hubungan antara nama dan jodoh. Tetapi yang paling keji dari sebuah kompetisi adalah hilangnya hati nurani dan harga diri. Sehingga seorang caleg bisa tetap berbangga dengan diri sendiri meski dengan modal ijasah palsu dan masa lalu yang penuh kebusukan.
Memang ketika kompetisi merambah ranah politik dan kekuasaan ia akan menemukan jodohnya pada pemikiran si kumis Nietzsche dalam buku the Will to power (kehendak untuk berkuasa) dan bisa dibayangkan kegilaan yang terjadi. Barangkali cita-cita Immanuel Kant akan kemanusian yang sampai pada persaudaraan dan perdamaian abadi hanya akan dialami manusia saat kematian datang menjemput.
Jadi teringat apa yang disebut teman saya sebagai culture Indonesian Idol,Akademi Fantasi, X-factor, dan semacamnya, dimana pencapaian puncak aktualisasi diri seseorang diukur bukan berdasarkan seberapa hebat dia mencapai masterpiece dalam suatu hal, tapi berdasarkan berapa persen sms dia kumpulkan . Maka seorang dengan suaranya dan penampilan biasa, hanya karena senyum yang mempesona gadis-gadis, jadilah dia pengumpul sms terbanyak, sementara yang lain yang nampak optimis, didukung kualitas suara dan penampilan yang oke, harus siap dieliminasi. Barangkali dia lupa, bangsa kita agaknya dalam kondisi psikologi-subconscious, sehingga sukar bersikap obyektif.
Maka saya pun menjadi ragu sejauh mana budaya ini dipakai sebagai ukuran bahwa seseorang layak disebut pemenang. Barangkali jawabannya adalah "YA", kalau kata “menang” direduksir artinya menjadi “paling gencar promosi”. Ah, agaknya saya lupa bahwa suka atau tidak suka, kita semua sepertinya mengidap autisme, “asal gua suka dan seneng, loe mau keberatan apa, emang gua pikirin.” Benar memang, terkadang orang bisa mencintai tanpa reason yang jelas.
Subyektivitas semacam ini pasti akan ditolak dengan keras oleh Imannuel Kant. Tapi sekali lagi emang gue pikirin flsafat dari seorang filsuf yang seumur-umurnya tidak pernah pergi dari kotanya? Dia lupa bahwa dunia ini penuh warna warni.
Pada akhirnya apakah kita mencapai puncak dan tujuan hidup kita terletak pada kemampuan untuk tidak hidup dalam masa lalu dan selalu mampu melihat hikmat di balik kesalahan serta mampu menaklukkan stress dalam menghadapi pilihan hidup yang begitu banyak. Jadi kita memang mesti hidup dengan moto COGITO ERGO SUM, bukan COGITAN ERGO SUM (mereka berpikir, maka saya ada).
Salam, Wirasatriaji
Namun kompetisi tetaplah sebuah persaingan kendati terbungkus dalam suatu culture yang sarat dengan nilai-nilai kesopananan. Dan dalam hal ini semangat “homo homini lupus” tetap relevan dan diminati. Karena itu, menarik untuk melihat “psychologigal conditioning” para kompetitor yang mengadopsi budaya X-Factor misalnya. Ketika mendengar pengumuman bahwa mereka tidak termasuk atau setidaknya belum tereliminasi. Saya kira tangisan mereka sukar untuk diartikan maksudnya. Atau sedih karena harus berpisah dengan rekan mereka atau senang karena toh masih selamat dari eliminasi.
Begitulah kompetisi mempemainkan psikologi manusia dan membuat kita menjadi stress serta sedikit schisoprenism. Yang lebih membuat geli kompetisi juga bisa membuat seorang kehilangan akal budi. Lalu mulai percaya pada jampi-jampi seperti orang yang percaya ada hubungan antara nama dan jodoh. Tetapi yang paling keji dari sebuah kompetisi adalah hilangnya hati nurani dan harga diri. Sehingga seorang caleg bisa tetap berbangga dengan diri sendiri meski dengan modal ijasah palsu dan masa lalu yang penuh kebusukan.
Memang ketika kompetisi merambah ranah politik dan kekuasaan ia akan menemukan jodohnya pada pemikiran si kumis Nietzsche dalam buku the Will to power (kehendak untuk berkuasa) dan bisa dibayangkan kegilaan yang terjadi. Barangkali cita-cita Immanuel Kant akan kemanusian yang sampai pada persaudaraan dan perdamaian abadi hanya akan dialami manusia saat kematian datang menjemput.
Jadi teringat apa yang disebut teman saya sebagai culture Indonesian Idol,Akademi Fantasi, X-factor, dan semacamnya, dimana pencapaian puncak aktualisasi diri seseorang diukur bukan berdasarkan seberapa hebat dia mencapai masterpiece dalam suatu hal, tapi berdasarkan berapa persen sms dia kumpulkan . Maka seorang dengan suaranya dan penampilan biasa, hanya karena senyum yang mempesona gadis-gadis, jadilah dia pengumpul sms terbanyak, sementara yang lain yang nampak optimis, didukung kualitas suara dan penampilan yang oke, harus siap dieliminasi. Barangkali dia lupa, bangsa kita agaknya dalam kondisi psikologi-subconscious, sehingga sukar bersikap obyektif.
Maka saya pun menjadi ragu sejauh mana budaya ini dipakai sebagai ukuran bahwa seseorang layak disebut pemenang. Barangkali jawabannya adalah "YA", kalau kata “menang” direduksir artinya menjadi “paling gencar promosi”. Ah, agaknya saya lupa bahwa suka atau tidak suka, kita semua sepertinya mengidap autisme, “asal gua suka dan seneng, loe mau keberatan apa, emang gua pikirin.” Benar memang, terkadang orang bisa mencintai tanpa reason yang jelas.
Subyektivitas semacam ini pasti akan ditolak dengan keras oleh Imannuel Kant. Tapi sekali lagi emang gue pikirin flsafat dari seorang filsuf yang seumur-umurnya tidak pernah pergi dari kotanya? Dia lupa bahwa dunia ini penuh warna warni.
Pada akhirnya apakah kita mencapai puncak dan tujuan hidup kita terletak pada kemampuan untuk tidak hidup dalam masa lalu dan selalu mampu melihat hikmat di balik kesalahan serta mampu menaklukkan stress dalam menghadapi pilihan hidup yang begitu banyak. Jadi kita memang mesti hidup dengan moto COGITO ERGO SUM, bukan COGITAN ERGO SUM (mereka berpikir, maka saya ada).
Salam, Wirasatriaji
Tidak ada komentar: