Penyair Hanya Punya Kata-kata ; Sebuah Pandangan Puisi
Penyair Hanya Punya Katakata
... Penyair hanya punya kata-kata, campakkanlah ia di sudut yang paling sudut, karena ia adalah aku…
Teman, kalimat itu aku baca di lembaran terakhir buku lusuh yang kutemukan di jalan. Entah mengutip dari mana, entah ditujukan untuk siapa, aku tak peduli. Hanya, ketika ada sedikit kesalahpahaman dengan kekasihku, kalimat itu kukutip dalam surat untuknya (mungkin itu romansa tahun usang, kalau sekarang, katanya, sudah tidak jamannya surat-suratan). Kamu tahu hasilnya? Damai pun menyinari bumi. Teman, begitu dahsyatkah kekuatan sebuah puisi?
Yang mengherankan, sampai dengan sekarang kalimat tersebut begitu lekat dalam ingatanku. Melebihi ingatan gejolak kerinduan yang disampaikan kayu kepada api yang menjadikannya abu (dari sajak Sapardi Djoko Damono, judulnya “Aku Ingin”).
Jadi, penyair hanya punya kata-kata? Untuk kemudian dengan rela dicampakkan di sudut yang paling sudut. Mungkin di laci meja berteman dengan tumpukan bon warteg, berdebu, dimakan ngengat, dan kemudian tak terselamatkan karena banjir melanda kota. Mungkin juga sedikit keren nampang di toko buku, tapi merana karena tak terbaca dan jumlahnya hanya sedikit berkurang. Atau mungkin bersemayam di sudut yang begitu dalam di hati kekasih pujaan, menatahkan prasasti kebahagiaan yang begitu personal, untuk kemudian terempas kenyataan karena ada orang lain yang menyodorkan syair kemapanan. Dan mungkin juga terbenam di sudut pikiran kita, tak tertuliskan, tak terkatakan, menjadi mimpi buruk yang berkepanjangan. Yang paling parah tentu dicampakkan oleh institusi yang merasa kehormatannya dilecehkan: ke dalam penjara keterasingan atau dihilangkan begitu saja.
Jadi, penyair hanya punya kata-kata? Kata-kata yang mungkin hanya dibaca oleh penyair lain, pemerhati sastra, pengamat sastra, atau masyarakat komunitas sastra. Sambil was-was mengharap penilaian bintang lima. Bukankah orang-orang itu sudah terlalu kenyang melahap hal-hal tersebut? Beranikah kita berharap puisi-puisi bisa akrab di telinga masyarakat umum, seperti lagu dangdut yang begitu riuh berdombretan menyambut pagi yang menyingsing, padahal sama-sama berisi kesedihan? Apa penyair harus minta bantuan aransemen kepada Erwin Gutawa atau Dhani Dewa, kemudian dinyanyikan secara mendesah oleh Ayu Ting Ting atau Syahrini? Menjadi semacam jalan "sosialisasi puisi". Tapi, jangan-jangan pengamat sastra dan penyair itu sendiri merasa terjebak dalam lingkaran budaya populer. Nah lo….
Teman, banyak orang mengatakan bahwa penyair adalah seorang yang memiliki kepekaan jiwa, lihai mengungkapkan perasaan, sabar dalam menyelami makna, dan sifat-sifat yang mulia lainnya. Jadi, berbanggalah para penyair. Ya, walaupun banyak pula orang yang mengatakan bahwa penyair (dan seniman lainnya) hanyalah orang dengan tingkah laku, pakaian, dan berpikiran aneh. Maksudnya mungkin "nyeni". Tapi percayalah, Teman, bahwa penyair dilahirkan di dunia ini untuk memberi setitik cahaya terang, seperti nyala lampu lilin di gelap malam sunyi. Setidaknya, itu untuk diri sendiri, kekasih, teman terdekat, dan masyarakat (kalau bisa).
Teman, benarkah penyair hanya punya kata-kata? Mungkin tidak! Wiji Thukul tak hanya punya satu kata: Lawan. Jalan hidupnya sendiri adalah sebuah perlawanan. Mungkin tanpa ia berkata-kata. (Meski keberadaannya pun hilang tanpa kata-kata). Bagaimana bila kata itu aku yang menulis, seorang yang sendirian, yang sekadar menulis tak karuan, tak pernah turun ke jalan, dan selalu terlambat dalam bersikap? Mungkin hanya kata-kata kosong, Kawan.
Teman, aku selalu ragu apakah puisi yang aku tulis bisa singgah di hati pembaca. Karena, terus terang saja, aku sendiri begitu malas membaca, apalagi memahami puisi. Ya, buktinya buku antologi puisi yang aku punya hanya hasil dari hadiah penerbit atas cover buatanku. Nama-nama penyair pun kuingat hanya sebatas nama, itu pun yang umum-umum saja. Jadi, aku tak berhak mengharapkan agar masyarakat umum bisa membukakan diri pada puisi.
Teman, aku hanya punya kata-kata. Itu pun selalu tak karuan. Jadi, kalau kamu bertanya, "Lalu untuk apa menulis puisi?" Mungkin aku akan menjawab, "Entahlah.…"
... Penyair hanya punya kata-kata, campakkanlah ia di sudut yang paling sudut, karena ia adalah aku…
Teman, kalimat itu aku baca di lembaran terakhir buku lusuh yang kutemukan di jalan. Entah mengutip dari mana, entah ditujukan untuk siapa, aku tak peduli. Hanya, ketika ada sedikit kesalahpahaman dengan kekasihku, kalimat itu kukutip dalam surat untuknya (mungkin itu romansa tahun usang, kalau sekarang, katanya, sudah tidak jamannya surat-suratan). Kamu tahu hasilnya? Damai pun menyinari bumi. Teman, begitu dahsyatkah kekuatan sebuah puisi?
Yang mengherankan, sampai dengan sekarang kalimat tersebut begitu lekat dalam ingatanku. Melebihi ingatan gejolak kerinduan yang disampaikan kayu kepada api yang menjadikannya abu (dari sajak Sapardi Djoko Damono, judulnya “Aku Ingin”).
Jadi, penyair hanya punya kata-kata? Untuk kemudian dengan rela dicampakkan di sudut yang paling sudut. Mungkin di laci meja berteman dengan tumpukan bon warteg, berdebu, dimakan ngengat, dan kemudian tak terselamatkan karena banjir melanda kota. Mungkin juga sedikit keren nampang di toko buku, tapi merana karena tak terbaca dan jumlahnya hanya sedikit berkurang. Atau mungkin bersemayam di sudut yang begitu dalam di hati kekasih pujaan, menatahkan prasasti kebahagiaan yang begitu personal, untuk kemudian terempas kenyataan karena ada orang lain yang menyodorkan syair kemapanan. Dan mungkin juga terbenam di sudut pikiran kita, tak tertuliskan, tak terkatakan, menjadi mimpi buruk yang berkepanjangan. Yang paling parah tentu dicampakkan oleh institusi yang merasa kehormatannya dilecehkan: ke dalam penjara keterasingan atau dihilangkan begitu saja.
Jadi, penyair hanya punya kata-kata? Kata-kata yang mungkin hanya dibaca oleh penyair lain, pemerhati sastra, pengamat sastra, atau masyarakat komunitas sastra. Sambil was-was mengharap penilaian bintang lima. Bukankah orang-orang itu sudah terlalu kenyang melahap hal-hal tersebut? Beranikah kita berharap puisi-puisi bisa akrab di telinga masyarakat umum, seperti lagu dangdut yang begitu riuh berdombretan menyambut pagi yang menyingsing, padahal sama-sama berisi kesedihan? Apa penyair harus minta bantuan aransemen kepada Erwin Gutawa atau Dhani Dewa, kemudian dinyanyikan secara mendesah oleh Ayu Ting Ting atau Syahrini? Menjadi semacam jalan "sosialisasi puisi". Tapi, jangan-jangan pengamat sastra dan penyair itu sendiri merasa terjebak dalam lingkaran budaya populer. Nah lo….
Teman, banyak orang mengatakan bahwa penyair adalah seorang yang memiliki kepekaan jiwa, lihai mengungkapkan perasaan, sabar dalam menyelami makna, dan sifat-sifat yang mulia lainnya. Jadi, berbanggalah para penyair. Ya, walaupun banyak pula orang yang mengatakan bahwa penyair (dan seniman lainnya) hanyalah orang dengan tingkah laku, pakaian, dan berpikiran aneh. Maksudnya mungkin "nyeni". Tapi percayalah, Teman, bahwa penyair dilahirkan di dunia ini untuk memberi setitik cahaya terang, seperti nyala lampu lilin di gelap malam sunyi. Setidaknya, itu untuk diri sendiri, kekasih, teman terdekat, dan masyarakat (kalau bisa).
Teman, benarkah penyair hanya punya kata-kata? Mungkin tidak! Wiji Thukul tak hanya punya satu kata: Lawan. Jalan hidupnya sendiri adalah sebuah perlawanan. Mungkin tanpa ia berkata-kata. (Meski keberadaannya pun hilang tanpa kata-kata). Bagaimana bila kata itu aku yang menulis, seorang yang sendirian, yang sekadar menulis tak karuan, tak pernah turun ke jalan, dan selalu terlambat dalam bersikap? Mungkin hanya kata-kata kosong, Kawan.
Teman, aku selalu ragu apakah puisi yang aku tulis bisa singgah di hati pembaca. Karena, terus terang saja, aku sendiri begitu malas membaca, apalagi memahami puisi. Ya, buktinya buku antologi puisi yang aku punya hanya hasil dari hadiah penerbit atas cover buatanku. Nama-nama penyair pun kuingat hanya sebatas nama, itu pun yang umum-umum saja. Jadi, aku tak berhak mengharapkan agar masyarakat umum bisa membukakan diri pada puisi.
Teman, aku hanya punya kata-kata. Itu pun selalu tak karuan. Jadi, kalau kamu bertanya, "Lalu untuk apa menulis puisi?" Mungkin aku akan menjawab, "Entahlah.…"
Tidak ada komentar: