Biola Tanpa Dawai ; Cerpen Tentang Cinta Tak Sampai
Salam. Kembali coba bikin cerpen yang masih bertema tentang cinta. Ini merupakan cerpen lama saya. Cerpen cinta yang bercerita tentang cerpen cinta yang tak kesampaian, cinta tak terbalas, dan juga masuk dalam cerpen cinta diam-diam. Cerpen tentang cinta pertama.
Berikut Cerpen lengkapnya:
Bagi remaja yang berjiwa muda penuh cinta, malam minggu adalah malam yang paling dinanti. Bagiku? sudah bisa ditebak. Tak ada bedanya dengan malam lainnya. Paling besok adalah hari mencuci pakaian dan membersihkan kamar. Tak ada yang istimewa. Sebab aku juga malas terjebak dalam tradisi yang akhirnya melahirkan sentimentil memuakkan juga penderitaan.
Sepulang dari studio musik, aku menuju mall guna mencari kemeja demi pementasan musik pekan depan. Lagipula menurut iklan radio, Department Store ini sedang mengadakan diskon 70% plus 20%. Lupa bahwa ini malam minggu, membuatku sedikit shock ketika memasuki lantai dasar yang penuh sesak. Orangtua yang menggandeng anak-anaknya, muda-mudi yang sibuk bergandengan mesra, juga remaja tanggung yang banyak bergerombol dengan dandanan menohok pandangan. Seketika aku merasa gerah meskipun ruangan sejuk. Lalu kuputuskan memasuki sebuah toko buku setelah menimbang hanya toko itu yang cukup lega dengan beberapa nafas yang hinggap di sana.
Aku berjalan memutari rak buku yang tetata rapi. Memasang earphone pada kedua daun telinga. Suara milik Ayu tingting dengan alamat palsunya seketika memenuhi rongga dengarku. Kunikmati alunan musik dangdut dengan anggukan-anggukan kecil sambil memandangi deretan buku yang tersusun. Tiba-tiba langkahku terhenti ketika pandanganku menemukan sebuah buku dengan warna sampul dominan abu-abu. Sebuah gambar sampul buku yang membenturkanku pada kenangan ketika aku masih terbalut putih abu-abu. Selarik kenangan yang mungkin juga abu-abu. Sebab putih tidak, hitampun lain.
Keisya, kamu dimana sekarang? aku rindu teduh matamu, desah batinku sembari mengangkat buku untuk memisahkannya dari barisan buku lain. Benakku seketika biru, melilit imajinasi fragmen cinta. Slide-slide kenangan memutar setiap adegan yang tergambar ribuan hal. Ada kekeh panjangnya, bahak lebarnya, tawa renyahnya, juga senyum manjanya. Rasanya aku harus menyiapkan pincuk daun untuk menampung serpihan kisah tertindih yang terlahir dari masa itu. Dia yang dulu duduk di bangku belakang sebelah kanan dariku, hanya mampu kupandangi diam-diam. Seperti pencuri, kunikmati tiap kubik senyum yang tercecer. Ada setangkup hasrat untuk membakar sepersekian waktuku demi meliriknya.
Sudah aku pasrahkan mencintainya diam-diam. Terlalu banyak yang harus diperhitungkan untuk merengkuhnya. Hampir semua murid laki-laki satu sekolah menyukainya. Aku juga tak pernah mengobrol dengannya meskipun satu kelas, bahkan selama tiga tahun. Eh, tapi dia sempat bertanya padaku menjelang acara malam perpisahan siswa. Band kamu main ya nanti malam? Ah, kalimat itu masih menggaung jelas di sekat-sekat ingatan. Waktu itu aku hanya mengangguk, lebih tepatnya menunduk. Teduh matanya, tebal alisnya yang berbelok sempurna, wajah bulannya, semuanya terlalu istimewa untuk kusedekahkan pada pandangan mata.
Malamnya seusai aku turun dari panggung, dia melepas pandangan ke arahku. Dengan pertimbangan sedemikian rupa, aku melempar senyum ke arahnya. Seketika itu juga dadaku berdetak tak teratur. Iramanya menjadi tak jelas. Kadang berdegup kencang, kadang sempurna diam. Aku memang mampu menguasai panggung saat menggebug drum di atas pentas, tapi tidak di teduh matanya. Hanya senyuman yang mampu kuisyaratkan. Aku sangat berharap waktu itu dia mampu menanggapi apa yang kuisyaratkan, sekalipun mungkin hanya mengedipkan mata satu kali kearahku yang kaku di ujung tangga panggung.
Dan besoknya aku tak lagi melihatnya, tak lagi satu kelas, tetapi barangkali ini yang terbaik. Mencintainya diam-diam. Bahkan anginpun tak perlu tahu. Biarlah berhembus sesuai arahnya. Tak perlu merekayasa, biarlah seperti adanya. Seperti halnya perasaan ini yang kubiarkan tetap ada.
Aku menghela nafas. Menaruh kembali buku ke tempat semula. Mengembalikan kesadaran akan realitas yang sesungguhnya.
"Rama... " sebuah suara mengurungkan gerak kaki yang hampir kulangkahkan.
"Keisya?" bibirku tak sempat mengatup. Sedikit shock mendapati sosoknya nyata di hadapanku.
"Hei, masih ingat aku?" senyumnya mengembang sempurna.
"Masih," jawabku singkat. Bodoh, aku kangen kamu.
Kujatuhkan pandangan pada setumpuk buku usai menurunkan earphone yang dari tadi memampat telinga. Memberi peluang pada keheningan diantara sampul buku yang membisu.
"Kamu belum berubah, masih pendiam," hening pecah oleh ucap Keisya.
"Kamu juga, masih tetap cantik," balasku datar. Aku tak mampu memunculkan kegembiran. Hanya menyembul di empat sudut hati. Seolah bening kembali setelah empat tahun kekaguman itu mengurung diri.
"Sendirian?" tanyanya.
Aku mengangguk, "kamu?"
"Bareng keluarga," jawabnya singkat. Aku mengerutkan dahi. Bareng keluarga? bukankah ini malam minggu? bukankah harusnya dia bersama kekasihnya? apakah dia belum punya pacar? Ataukah ini takdir Tuhan untuk sebuah awalan indah? Arrrgh... ribuan pertanyaan seketika melesat memenuhi tempurung kepala. Mungkin ini jawaban atas bait-bait do'aku, pikirku. Empat tahun lamanya tak mampu kuusir bayang gadis pemilik senyum manis ini. Nyatanya setiap aku bertanya pada hati, jawabannya selalu sama, dia tak tergantikan.
"Ama... Ulan ama...(Mama... Pulang mama...) " suara anak kecil yang sedang digendong laki-laki bertubuh besar menuju ke arah kami.
"Aku pulang dulu ya? itu anak dan suamiku sudah menunggu," ucapnya sambil melambai ke arahku. Sejurus kemudian menghilang diantara sesak pengunjung mall.
Jari-jari merunduk lemas. Perih di ulu hati, namun tak menetes darah. Cinta itu serupa biola tanpa dawai. Ya, biola itu tak akan berbunyi, sebab tak ada dawai yang bisa dipetik, ia tetap diam. Diam dalam kematian yang sempurna. Maka, aku menanggung kegelisahan hati. Lalu sedetik kemudian aku berhasil tertawa, sebab menyadari bahwa aku bukan siapa-siapa untuknya.
Aku pulang dan berharap menemukan kegembiraan lain di sepanjang jalan. Tidak jadi membeli kemeja karena sudah hilang selera. Sepanjang jalan aku bersenandung dalam hati, entah lagu apa. Keisya memang tidak salah, aku yang mencinta. Sepihak. Cinta pertamaku yang tak pernah tersampaikan. Kutatap langit yang sepertinya makin pudar, lalu menangis dalam hati.
Berikut Cerpen lengkapnya:
Biola Tanpa Dawai
Oleh : Wirasatriaji
Bagi remaja yang berjiwa muda penuh cinta, malam minggu adalah malam yang paling dinanti. Bagiku? sudah bisa ditebak. Tak ada bedanya dengan malam lainnya. Paling besok adalah hari mencuci pakaian dan membersihkan kamar. Tak ada yang istimewa. Sebab aku juga malas terjebak dalam tradisi yang akhirnya melahirkan sentimentil memuakkan juga penderitaan.
Sepulang dari studio musik, aku menuju mall guna mencari kemeja demi pementasan musik pekan depan. Lagipula menurut iklan radio, Department Store ini sedang mengadakan diskon 70% plus 20%. Lupa bahwa ini malam minggu, membuatku sedikit shock ketika memasuki lantai dasar yang penuh sesak. Orangtua yang menggandeng anak-anaknya, muda-mudi yang sibuk bergandengan mesra, juga remaja tanggung yang banyak bergerombol dengan dandanan menohok pandangan. Seketika aku merasa gerah meskipun ruangan sejuk. Lalu kuputuskan memasuki sebuah toko buku setelah menimbang hanya toko itu yang cukup lega dengan beberapa nafas yang hinggap di sana.
Aku berjalan memutari rak buku yang tetata rapi. Memasang earphone pada kedua daun telinga. Suara milik Ayu tingting dengan alamat palsunya seketika memenuhi rongga dengarku. Kunikmati alunan musik dangdut dengan anggukan-anggukan kecil sambil memandangi deretan buku yang tersusun. Tiba-tiba langkahku terhenti ketika pandanganku menemukan sebuah buku dengan warna sampul dominan abu-abu. Sebuah gambar sampul buku yang membenturkanku pada kenangan ketika aku masih terbalut putih abu-abu. Selarik kenangan yang mungkin juga abu-abu. Sebab putih tidak, hitampun lain.
Keisya, kamu dimana sekarang? aku rindu teduh matamu, desah batinku sembari mengangkat buku untuk memisahkannya dari barisan buku lain. Benakku seketika biru, melilit imajinasi fragmen cinta. Slide-slide kenangan memutar setiap adegan yang tergambar ribuan hal. Ada kekeh panjangnya, bahak lebarnya, tawa renyahnya, juga senyum manjanya. Rasanya aku harus menyiapkan pincuk daun untuk menampung serpihan kisah tertindih yang terlahir dari masa itu. Dia yang dulu duduk di bangku belakang sebelah kanan dariku, hanya mampu kupandangi diam-diam. Seperti pencuri, kunikmati tiap kubik senyum yang tercecer. Ada setangkup hasrat untuk membakar sepersekian waktuku demi meliriknya.
Sudah aku pasrahkan mencintainya diam-diam. Terlalu banyak yang harus diperhitungkan untuk merengkuhnya. Hampir semua murid laki-laki satu sekolah menyukainya. Aku juga tak pernah mengobrol dengannya meskipun satu kelas, bahkan selama tiga tahun. Eh, tapi dia sempat bertanya padaku menjelang acara malam perpisahan siswa. Band kamu main ya nanti malam? Ah, kalimat itu masih menggaung jelas di sekat-sekat ingatan. Waktu itu aku hanya mengangguk, lebih tepatnya menunduk. Teduh matanya, tebal alisnya yang berbelok sempurna, wajah bulannya, semuanya terlalu istimewa untuk kusedekahkan pada pandangan mata.
Malamnya seusai aku turun dari panggung, dia melepas pandangan ke arahku. Dengan pertimbangan sedemikian rupa, aku melempar senyum ke arahnya. Seketika itu juga dadaku berdetak tak teratur. Iramanya menjadi tak jelas. Kadang berdegup kencang, kadang sempurna diam. Aku memang mampu menguasai panggung saat menggebug drum di atas pentas, tapi tidak di teduh matanya. Hanya senyuman yang mampu kuisyaratkan. Aku sangat berharap waktu itu dia mampu menanggapi apa yang kuisyaratkan, sekalipun mungkin hanya mengedipkan mata satu kali kearahku yang kaku di ujung tangga panggung.
Dan besoknya aku tak lagi melihatnya, tak lagi satu kelas, tetapi barangkali ini yang terbaik. Mencintainya diam-diam. Bahkan anginpun tak perlu tahu. Biarlah berhembus sesuai arahnya. Tak perlu merekayasa, biarlah seperti adanya. Seperti halnya perasaan ini yang kubiarkan tetap ada.
Aku menghela nafas. Menaruh kembali buku ke tempat semula. Mengembalikan kesadaran akan realitas yang sesungguhnya.
"Rama... " sebuah suara mengurungkan gerak kaki yang hampir kulangkahkan.
"Keisya?" bibirku tak sempat mengatup. Sedikit shock mendapati sosoknya nyata di hadapanku.
"Hei, masih ingat aku?" senyumnya mengembang sempurna.
"Masih," jawabku singkat. Bodoh, aku kangen kamu.
Kujatuhkan pandangan pada setumpuk buku usai menurunkan earphone yang dari tadi memampat telinga. Memberi peluang pada keheningan diantara sampul buku yang membisu.
"Kamu belum berubah, masih pendiam," hening pecah oleh ucap Keisya.
"Kamu juga, masih tetap cantik," balasku datar. Aku tak mampu memunculkan kegembiran. Hanya menyembul di empat sudut hati. Seolah bening kembali setelah empat tahun kekaguman itu mengurung diri.
"Sendirian?" tanyanya.
Aku mengangguk, "kamu?"
"Bareng keluarga," jawabnya singkat. Aku mengerutkan dahi. Bareng keluarga? bukankah ini malam minggu? bukankah harusnya dia bersama kekasihnya? apakah dia belum punya pacar? Ataukah ini takdir Tuhan untuk sebuah awalan indah? Arrrgh... ribuan pertanyaan seketika melesat memenuhi tempurung kepala. Mungkin ini jawaban atas bait-bait do'aku, pikirku. Empat tahun lamanya tak mampu kuusir bayang gadis pemilik senyum manis ini. Nyatanya setiap aku bertanya pada hati, jawabannya selalu sama, dia tak tergantikan.
"Ama... Ulan ama...(Mama... Pulang mama...) " suara anak kecil yang sedang digendong laki-laki bertubuh besar menuju ke arah kami.
"Aku pulang dulu ya? itu anak dan suamiku sudah menunggu," ucapnya sambil melambai ke arahku. Sejurus kemudian menghilang diantara sesak pengunjung mall.
Jari-jari merunduk lemas. Perih di ulu hati, namun tak menetes darah. Cinta itu serupa biola tanpa dawai. Ya, biola itu tak akan berbunyi, sebab tak ada dawai yang bisa dipetik, ia tetap diam. Diam dalam kematian yang sempurna. Maka, aku menanggung kegelisahan hati. Lalu sedetik kemudian aku berhasil tertawa, sebab menyadari bahwa aku bukan siapa-siapa untuknya.
Aku pulang dan berharap menemukan kegembiraan lain di sepanjang jalan. Tidak jadi membeli kemeja karena sudah hilang selera. Sepanjang jalan aku bersenandung dalam hati, entah lagu apa. Keisya memang tidak salah, aku yang mencinta. Sepihak. Cinta pertamaku yang tak pernah tersampaikan. Kutatap langit yang sepertinya makin pudar, lalu menangis dalam hati.
Bang aji , cerpen nya kerennn , lama lama bisa jadi penikmat cerpen bang aji atau mungkin nanti sebuah novel nih haha 👍👍 sukses buat bang aji
BalasHapus